Peran Santri Di Era Globalisasi
Suluk Sang Santri Sebagai Turbulensi Selamatkan Negeri Di Era Globalisai
Ketika batas antar Negara diseluruh penjuru
dunia menjadi sangat tipis bahkan seolah tak terasa (borderless) adalah salah satu bukti nyata dari adanya globalisasi.
Ini dikarenakan globalisasi adalah suatu proses integrasi secara internasional
yang terjadi karena kemajuan teknoogi, informasi, dan kmunikasi yang diawali
dengan adanya pertukaran pandangan, pemikiran, gagasan/ide hingga aspek-aspek
sosial dan budaya antar Negara di dunia termasuk Indonesia. Manusia yang
notabene adalah homo socius dan homo economicus menjadikan ia ingin mengembangkan
dirinya dan berinteraksi dengan manusia lainnya demi tercapainya seluruh apa
yang diinginkan, juga merupakan faktor awal lahirnya globalisasi. Arti globalisasi menurut para ahli adalah
suatu proses atau fenomena modern bercirikan adanya peningkatan perdagangan
internasional, teknologi informasi, kemajuan transportasi, adanya alat-alat
canggih, adanya penggunaan komputer dan internet.[1]
Kehadiran globalisasi yang tak dapat
dihindari mampu membawa pengaruh signifikan bagi kehidupan mayarakat suatu
Negara khususnya Indonesia. Pengaruh globalisasi sangat berfariasi. Disamping
pengaruh positif yang selalu diagung-agungkan oleh banyak orang seperti
kemajuan IPTEK, kecanggihan transportasi, meningkatkan pertumbuhan nasional,
dan borderless, globalisasi juga
menimbulkan pengaruh negatif yang tanpa disadari telah mengkontaminasi
sendi-sendi kehidupan manusia seperti adanya perubahan pola berpikir praktis
dan ingin menang sendiri, merosotnya moral, norma dan nilai-nilai kesopanan (moral degradation), dan gaya hidup (life style) yang kebarat-baratan. Mukhtar
Bukhori berpendapat bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan dimasa
mendatang, dan sebagai akibat dari globalisasi, akan lahir gaya hidup baru yang
mengandung ekses-ekses tertentu seperti materalisme, sekularisme, hedonisme,
Anti Tuhan, dan sebagainya. [2]
Dalam konteks kekinian di era yang
serba canggih dan modern ini, generasi muda terkhusus para santri selaku agent of change and agent of control memiliki
peran besar untuk mempertahankan nation
character, dan idiologi Negara Indonesia. Dalam hal ini, seungguhnya santri
memiliki tantangan yang jauh lebih besar untuk menyelami dan bertahan dalam
menerjang arus globalisasi bila dibandingan pemuda pada umumnya. Santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga
pendidikannya selesai.[3]
Pada saat menempuh pendidikan di pesantren, seorang santri tentunya diberi
pendidikan agama yang lebih dari pada yang lain. Bukan hanya ilmu agama,
melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya yang nantinya dapat
dimanfaatkan ketika ia telah keluar dari pondok pesantren. Itulah sebabnya
mengapa seorang santri memiliki tantangan sekaligus tanggungjawab yang besar
karena ia dianggap tahu mengenai hakikat dirinya sebagai seorang manusia yang
bertuhan (hamba) dalam menjalani kehidupan dunia yang miliknya sang pencipta
(Allah).
Dalam menjawab tantangan globalisasi
para santri tidaklah cukup bila hanya duduk dan mengaji melainkan juga harus
melakukan beberapa hal yang dapat digunakan sebagai persiapan dalam menjalani
kehidupan di arus globalisasi. Dengan demikian mereka mampu mempertahankan nation character dan idiologi Negara
Indonesia. Suluk yang ditempuh seorang santri tentunya memiliki pembeda dengan
jalan yang ditempuh pemuda pada umumnya. Turbulensinya pun harus sejalan dengan
nilai-nilai religiuitas syariat islam agar terciptanya keharmonisan antara islam
dan kehidupan masyarakat di era globalisasi.
A.
Amunisi
Bagi Diri
Bila
diibaratkan hendak pergi berperang, maka amunisi bagi diri seorang santri
haruslah benar-benar dipersapkan dengan matang, agar mampu bertahan dan siap
dalam menjalani dan menjawab tantangan hidup dalam era global.
1.
Memperkokoh
nilai-nilai religiuitas
Dalam
menjalani kehidupan di era modern seperti sekarang, hal pertama dan utama yang
harus dilakukan seorang santri adalah memperkokoh nilai-nilai relgiuitas yang
selama ini telah ia dapatkan di pesantren. Hal ini sangat penting mengingat
globalisasi membawa dampak yang salah satunya dinamakan sekularisme atau sifat
yang lebih mementingkan duniawi dibandingan agama. Dapat dikatakan pula bahwa
sekularisme adalah paham yang memisahkan secara total antara agama dengan
Negara.[4] Bila
para santri tidak memiliki nilai religiuitas yang tinggi maka mereka akan
dengan mudahnya meniru dan terpengaruh oleh budaya barat dan meninggalkan
kesantriannya. Namun bila religiuitasnya tertanam dengan kuat maka nilai-nilai
asing yang ia peroleh dari adanya globalisasi akan mengalami proses
filterisasi. Para santri akan mampu menentukan mana yang dapat ia tiru dan mana
yang hanya dapat dijadikan pengetahuaan tanpa harus menirunya. Para santri
hendaknya menerapkan nilai – nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Religiuitas
mengenai islam kontemporer juga perlu dipelajari dalam era modern, hal ini
melatih toleransi dan membuktikan bahwa islam adlah agama yang lebih fleksibel
dalam bermasyarakat untuk umatnya.
2.
Mempertahankan
status, moral dan karakter kesantrian
Dalam era globalisasi saat ini, budaya barat
cenderung lebih menarik dibandingkan dengan budaya lokal. Apabila seorang
santri tidak dapat mempertahankan karakter kesantrannya, maka dengan mudah
budaya barat akan menggantikan budaya Indonesia terkhusus budaya santri. Dimana
dalam pesantren selalu diajarkan mengenai tata cara menghormati orang yang
lebih tua. Hilangkan stereo type
masyarakat terhadap santri yang menganggap bahwa setelah santri keluar dari
pesantren mereka akan kehilangan karakter kesantriannya dan berubah menjadi
anak gaul yang kekinian. Maka dari itu, yang harus kita lakukan adalah untuk tetap
menjadi santri yang tidak ketinggalan zaman serta tidak kehilangan karakter
kesantriannya.
B.
Memperkaya
Khazanah Pengetahuan
Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa semakin berkembangnya zaaman maka semakin banyak
pula ilmu-ilmu baru yang hadir dalam kehidupan manusia. Seorang santri, selain
mempelajari tentang khazanah islamiyah hendaknya juga mempelajari pengetahuan
yang lainnya. Seperti halnya sains, teknologi komunikasi, dan sebagainya.
Mengingat bahwa pada zaman penjajahan dahulu, santri adalah orang yang dianggap
serba bisa. Selain piawai dalam ilmu agama, santri juga dapat menjadi pasukan
bersenjata saat perang melawan colonial.
Santri dapat menjadi tabib atau para penyembuh korban perang, santri juga
pandai dalam bela diri dan sebaginya. Itulah sebabnya seorang santri wajib
mempelajari disiplin ilmu lain selain ilmu islam. Para scientist zaman dahulu rata-rata adalah dari golongan orang-orang
islam seperti Ibnu Sina (bapak kedokteran modern), Ibnu Wafa (Matematikawan
yang jenius), Al Farabi (Penemu nada dan logika maatematika), Al Biruni (Sang
ahli obat-obatan) dan sebagainya. Mereka adalah ilmuan muslim yang penemuannya
bermanfaat bagi seluruh umat dunia. Bila para santri terus mengasah khazanah
pengetahuannya maka mereka dapat menguasai dunia dengan memberikan manfaat kepada
sesamanya, karena sesuai dengan hadits “Sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya”. Itulah sebabnya mengapa
penguasaan ilmu pengetahuan sangat penting bagi para santri untuk menjalani
hidup di dunia modern.
C.
Menguasai
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Teknologi
Adalah kunci utama lahirnya globalisassi. Di era yang serba instan saat ini,
seorang sntri harus bisa menguasai teknologi, karena barang siapa yang mempu
menguasai teknoogi, ia akan menguasai separuh dunia. Lahirnya berbagai aplikasi
media social saat ini dikarenakan kecanggihan teknologi informasi dan
komunikasi. Namnun sayangnya tidak banyak yang menggunakannya untuk hal-hal
positif. Mereka justru menggunakan untuk hal-hal negative. Sebagai seorang santri dalam menghadapi hal ini hendaknya
mampu menahan diri untuk tidak ikut serta seperti mereka yang menggunakan media
sebagai hal-hal negative. Seperti
yang lagi trend saat
ini adalah adanya ujaran kebencian terhadap kelompok lain melalui media sosial
atau yang dikenal dengan Saracen. Hendaknya para santri tidak mudah termakan
oleh isu-isu negative yang belum pasti kebenarannya. Hendaknya para santri
menggunakan media informasi dengan baik dan bijak seperti berdakwah, untuk
belajar dan menggali ilmu-ilmu agama namun dengan catatan sumbernya telah
jelas.
D.
Memiliki
Sikap Toleransi dan Open Minded
Semakin tak terasa batas antar Negara maka
lalu lintas budaya dari Negara lain tentunya dengan mudah akan keluar dan masuk
ke Negara kita. Bila kita tidak mawas diri dan memiliki rasa nasionalisme yang
tinggi, budaya kita dengan mudahnya akan tergerus dan tergantiakan dengan
budaya asing. Begitu juga bila kita tidak memiliki rasa toleransi dan menerima
adanya perbedan, maka budaya kita akan tertinggal bahkan tertindas dengan
budaya lain. Sebagai seorang santri hendaknya juga memiliki keterampilan
mengenai kebudayan Indonesia dan menanmkan sikap toleransi serta Open Minded terhadap mereka yang berbeda
agama dengan kita tanpa memaksakan hekendak orang lain, sehigga tidak adanaya
stigma bahwa umat islam adalah teroris yang selalu memaksakan kehendak orang
lain sesuai kehendak kita. Isu-isu ini telah menyebar luas hingga ke belahan
bumi manapun, bahkan di Eropa terdapat yang namanya Islam phobia, diamana mereka merasa takut dan khawatir tentaang segala
hal yang berbau-bau islam. Tugas para santri yakni menghilangkan stigma tersebut dengan langkah memiliki
sikap toleransi dan open minded
sehingga lambat laun islam phobia
akan tergantikan menjadi islam lovers or
islam admirer. Islam bukanlah agama untuk ditakuti, tetapi harusnya
dicintai karena islam adalah agama rahmatan
lil’alamin.
E.
Menjadi
Penyejuk Dahaga Batiniah
Globalisasi membuat orang berlomba-lomba untuk
mengejar duniawai agar tidak tersisihkan dan tertinggal dengan yang lain.
Kebanyakan dari mereka merelakan dirinya terjajah oleh duniawi dan seringkali
melupakan urusan akhirat. Maka disinilah peranan seorang santri, ia harus mampu
memberikan penyejuk dahaga bagi mereka para pengejar duniawi yang terlalu sibuk
memikirkan urusan dunia hingga mengabaikan urusan akhhirat. Santri dapat
memberikan siraman rohni atau penuntun jalan mereka untuk kembali mengingat Allah
dan menuju jalan yang benar.
Disinilah
pencapaian terbesar seorang santri dalam menjalani dan menjawab tantangan
globalisasi. Dengan demikian santri tidak hanya menyelamatkan dirinya,
melainkan juga menyelamatkan Negara Indonesia di era globalisasi ini. Karena
selain menata dirinya, dia juga menata dan mengajak lingkungan sekitarnya menjdi
insan yang lebih baik lagi.
[1] Nicholas, Globaisasi atau Hegomoni Intelektual Global,
Jurnal Analisis CSIS, No. XXXII (2003), hlm. 500
[2] Masykur, Ali
Musa, Membumikan Islam Nusantara : Respons Islam Terhdap Isu-Isu Aktual,
Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015, Hlm. 119
[3] Wikipedia
Bahasa Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Santri, ditulis pada 14
September 2017, diakses pada 10 Okttober 2017
[4] Dr. Iqbal
Muhammad, S.Ag, Ibn Rusyd &
Averroisme, Bandung. Pradana Mulya Sarana, 2011, Hal. 14
Komentar
Posting Komentar