Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Melindungi Whistle Blower
Berdasarkan ketentuan UUD
1945 hasil amandemen, disebutkan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Pengertian negara hukum menurut Aristoteles,
yakni negara yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Mustafa Kamal Pasha
dalam Dwi Winarno, 2006, menerangkan bahwa negara hukum adalah negra yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara
hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum
(supremasi hukum) dan bertujuan unntuk menjalankan ketertiban hukum. Ini
berarti negara dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan atas hukum positif dan
konstitusi. Negara hukum hendaknya menegakkan dan memposisikan hukum diatas
segalanya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia sesuai amanat UUD 1945 Pasal
28 I ayat (4) dengan tujuan tercapainya suatu tujuan hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum (rechtszekerheid)[1].
Indoensia sebagai
negara hukum tentu memiliki banyak peraturan perundang-undangan dan peraturan
bersifat tertulis yang disahkan pemerintah guna mengatur kehidupan warga negara
yang bersifat mengikat. Meskipun telah disertai sanksi, tetapi ada saja orang
yang berani melanggar dan seolah membenarkan perbuatan tercelanya. Mereka
berusaha mencari celah dan kelemahan dari berlakunya hukum. Bahkan tidak
sedikit dari mereka yang menyalahgunakan hukum demi kepentingan pribadinya. Dari
banyaknya kasus pelanggaaran hukum di masyarakat, sebagian kecil dari kasus
tersebut telah terungkap siapa korban dan pelakunya dan telah mendapat kekuatan
hukum tetap (inkracht). Namun
sebagian besar sisanya belum terungkap karena alot untuk diselesaikan. Sulitnya mengugkap kebenaran dari suatu
kaasus dan penanganan yang lamban, akan merugikan korban karena tidak segera
mendapatkan keadilan sesuai impiannya.
Beberapa kasus yang
proses penyelesaiannya terkesan sulit dan berlarut-larut adalah: pelecehan
seksual, KDRT, korupsi, narkoba, dan terorisme. Sulitnya kasus terungkap
disebabkan beebrapa faktor, salah satunya, tidak ditemukannya bukti yang cukup.
Menurut Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dari kelima alat bukti tersebut yang
paling susah untuk diperoleh adalah keterangan saksi. Saksi dan/atau korban
merupakan kunci utama dan jalan pembuka menuju terungkapnya suatu tindak
kejahatan, karena mereka adalah para pengungkap fakta dari suatu peristiwa (whistle blower) yang mengetahui
bagaimana suatu peristiwa terjadi. Namun sayangnya, tidak sedikit dari mereka
yang enggan buka mulut, walaupun
sebenarnya mereka sangat menginginkan keadilan atas kasus yang dialami atau
dilihatnya.
Menurut Undang-Undang
No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menjelaskan bahwa Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud Saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang satu tindak
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan
Pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa korban adalah orang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana.
Selain merasa malu,
faktor utama yang mempengaruhi wistle
blower tidak mau memberikan kesaksian karena merasa takut, diantaranya: takut
diancam, takut dilecehkan, takut diintimidasi, takut dibully, takut dilaporkan
balik kepada pihak yang berwenang dan masih banyak ketakutan lain yang
berkecamuk di hati dan pikiran whistle
blower. Seandinya mereka berani bersuara, tentu para penegak hukum akan
lebih mudah untuk menengakkan hukum dan mereka akan mendapatkan keadilan sesuai
yang diimpikan. Dilema yang demikian ini membuat whistle blower berpikir dua kali untuk angkat suara. Padahal dari
suara merekalah hukum dan keadilan dapat tegak berdiri yang akan menyingkap
tabir menakutkan bagi whistle blower sehingga
ditemukan fakta yang seshungguhnya.
Dengan adanya
permasalahan yang komplit seperti diatas, didirikanlah sebuah lembaga bernama
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang siap menjadi prisai pelindung
di garda terdepan bagi para saksi dan korban yang mengungkapkan fakta agar
mendapatkan keadilan sesuai dengan yang diimpikan. Didirikan tahun 2006 berlandaskan
hukum UU No. 13 Tahun 2006 jo UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, Lembaga ini bersifat mandiri, independen, dan tanpa campur tangan
pihak mana pun dalam memberikan berbagai perlindungan pada saksi dan korban
selama proses peradilan berlangsung dengan tujuan untuk memperjuangkan
diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana sesuai
kewenangannya berdasarkan UU. Sesuai dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 13 tahun 2006
menyebutkan bahwa, Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib
dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan UU ini. Mengingat
bahwa saat ini adalah era digital, dimana saksi dan korban rentan mengalami
berbagai ancaman, maka perlindungan yang diberikaan LPSK terhadap saksi dan
korban tentu semakin komplit sesuuai dengan kebutuhan dan kondisi saat ini.
Berharap saksi dan korban bukan hanya aman dan terlindungi secara fisik,
melainkan juga mental, psikis sehingga bisa menolak ketakutannya.
Pada era baru
kepemimpinan, membawa angin segar dan optimisme tersendiri bagi LPSK untuk
menjadi lembaga yang kredibel dan berintegritas dalam melaksanakan kewajibannya
untuk memberi rasa aman dan melindungi whistle
blower. Optimisme ini membawa semangat untuk selalu menomor satukan kemanan
saksi dan korban ketika memberi keterangan. Secara garis besar, LPSK memiliki
tugas yang menjadi tanggungjawabnya dalam memberikan perlindungan pada whistle blower, yaitu:
1. Perlindungan
bagi para korban tindak kejahatan (Pasal 5 ayat (1) huruf a), “saksi dan korban berhak memperolehh
perlindungan atas kemanan pribadi, keluarrga, dan harta bendanya, serta bebas
dari ancamn yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau tellah
diberikannya”. Bentuk perlindungan ini merupakan bentuk nyata perwujudan
asas keadilan dan rasa aman yang diberikan LPSK kepada saksi dan korban.
2. Menerima
permintaan permohonan perlindungan yang diajukan oleh saksi dan korban dengan
pemeriksaan lebih lanjut yang (Pasal 29 ayat (1)), LPSK selaku lembaga yang
kredibel dan berintegritas, berkewajiban dan siap menerima permohonan
permintaan perlindungan yang diajukan oleh saksi dan korban yang merasa tidak
nyaman dalam memberikan fakta atau keterangan mengenai kasus yang hendak
dipecahkan. Permintaan ini berupa permintaan tertulis yang dapat diajukan oleh
korban ataupun keluarganya. Siapa saja dapat mengajukan permohonan perlindungan
paada LPSK dan LPSKmelayani dengan tanggungjawab dan melindungi korban tanpa pandang
bulu. Dengan waktu proses 7 hari setelah pengajuan, LPSK akan melakukan
peninjauan lebih lanjut tentang permohonan. Asas anti diskriminatif yang selalu
dijunjung tinggi LPSK menjadi bukti bahwa LPSKmelayani siapa saja yang
membutuhkan sesuai apa yang diamanatkan UU.
3. Pengajuan
kompensasi dan restitusi kepada pengadilan (Pasal 7 ayat (1) sampai ayat (4)).
Sebagai lembaga yang kredibel dan berintegritas dalam melindungi saksi dan
korban, LPSKmelayani dan bertanggungjawab sebagai perantara pengajuan
kompensasi dan restitusi dalam kasus HAM berat. Arti kompenasasi adalah hak
untuk mendapatkan ganti gerugian oleh pihak pemerintah karena pelaku tidak
mampu memberikan restitusi. Sedangkan restitusi dalah ganti kerugian oleh
pelaku kejahatan guna pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya pada
korban.
Berdasarkan keerangan
diatas, bagi siapapun baik saksi, korban, atau masyarakat umum yang mengetahui
adanya tindak kejahatan / tindak pidana yang saat ini masih merasa takut untuk
mengungkapkan kebenaran, buang dan tolaklah rasa takut karena keberanian dari
suara kalian akan tercipta keadilan yang selama ini kita mimpikan. Ketika whistle blower berani berbicara maka
hukum akan tegak berdiri disamping mereka untuk menumpas segala kejahatan dan
LPSK sebagai lembaga yang berintegritas akan siap menjadi garda terdepan yang
melindungi mereka dari berbagai serangan atas pihak yang hendak
menghalang-halangi penegakakn keadilan. Lucius Calpurnius Piso Caesonius pernah
berpesan: Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan rntuh (Fiat Justitia Ruat Caelum.
See on my kompasiana version on Kompasiana:
[1] E.
Utrech / Moh Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Ichrtiar Baru
Anggoa IKAPI, Jakarta, 1983, Hlm 14
Komentar
Posting Komentar