Surat Terbuka Untukmu Yang Tertutup


Jadi, bagaimana pagi ini, sayang? Apakah semua anganmu masih tersimpan rapi dalam asa dan diam? Atau sudah kautuangkan imajinasimu dalam segelas susu putih itu? Kalau aku pengennya sih pagi ini menjadi rasa kamu. Tapi kali ini akan aku coba buat menjadi rasa puisi yang karena terlalu panjang, maka berubah menjadi rasa narasi.

Kali ini aku ingin sedikit bercerita tentangmu yang introvert dimata orang tapi jadi lumayan extrovert ketika bersamaku. Kamu yang tentunya tidak akan membalas surat ini dengan panjang lebar, tapi pasti membaca dan mengunyah kalimatku perlahan, kemudian menelannya dengan lembut dalam kesunyianmu yang seringkali sulit kupahami.

Jika saat ini kamu sedang duduk bersamaku dengan gayamu yang chill mungkin akan dipegangnya tanganku sambil bilang, “Jangan pulang dulu hingga pukul lima ya, aku masih kangen.” Atau kalau lagi iseng, kamu akan mengejekku karena seringkali mencari makna secara filosofis tentang hampir segala hal yang terjadi.

Sepanjang pengamatanku yang sok tahu, kamu bukan orang yang definitif. Kebutuhanmu bukan mendefinisikan setiap istilah yang kamu temukan, apalagi mencari tahu filosofisnya. Kamu lebih senang punya pengalaman, merangkainya, dan belajar dari itu. Bukan pakai KBBI, melainkan intuisi dan menyulapnya menjadi wujud visual. Kurasa kamu adalah jelmaan dari aku ingin mencintaimu dengan sederhana-nya Sapardi. Yang hujan biar jadi hujan, yang abu biar jadi abu. Bahkan jika kuibaratkan ketenanganmu itu persis seorang Stoic. 

Meski kamu bukan manusia yang berkutat di kamus, tapi kamu bisa membawakan seisi dunia ketika berbicara denganku, bahkan banyak hal yang kamu tahu tapi aku belum tahu. Kamu adalah pejuang tangguh untuk cita-cita dan semua impianmu. Bahkan ketika aku berbuat salah, bukan berarti kamu tidak bisa marah. Untuk setiap kesalahanku yang kautangkap, tentu kamu berpotensi meneriaku. Untuk sinisme yang seringkali kulontarkan, kamu berpotensi kesal sekesal-kesalnya. Tapi kamu tidak memilih untuk melakukan hal-hal yang buruk dihadapanku. Manusia hebat yang selalu berusaha tangguh dan berusaha menjadi panutan terbaik untuk adik-adiknya. Ya, begitulah kamu.

Sekali lagi kubayangkan, kamu ibarat anak lelaki yang mengalungi banyak pertanyaan. Satu langkah dari rumah, satu pertanyaan dikepalamu, dan kau simpan sendiri rapat-rapat. Kamu suka berpergian jauh dengan sepedamu — jauh sekali, sampai di tempat yang kamu pikir kamu sudah temukan bintang. Mungkin sebuah bukit atau jalan yang kanan kirinya persawahan.

Aku bayangkan sesosok Nuh tampil di dadamu ketika sampai di puncak bukit itu. Anak lelaki yang selalu sendirian, bahkan ketika ia sedang bersama teman-temannya. Kita tahu, sendirian melahirkan kesepian. Tapi kamu tidak mau kalah sebelum waktunya. Kamu pikir kamu boleh saja sekarat, tapi tidak dengan yang lain. Kamu pikir kamu harus menyelamatkan sesuatu, meski tidak ada yang minta diselamatkan. Adakalanya sesuatu itu kurang, jadi ia tambah beberapa. Untuk mereka yang kesusahan, kamu sering ulurkan tangan. Untuk mereka yang kelimpungan, kamu tumpahkan nasihat-nasihatnya. Kamu membangun sebuah kapal sebagai tempat penampungan.

Kamu juga kuat dan hebat, banyak yang bilang demikian padamu, padaku, juga pada orang tuamu. Ajaibnya, kamu merasa biasa saja. Ah, sayang, coba ambil cermin dan berkacalah, kamu tidak hanya hebat tapi juga tampan.

Dari senyummu yang selalu menggunakan mode paket hemat, dari semua hasil karya yang membuat kami bangga, aku tahu kamu juga manusia biasa yang butuh tempat bersandar dan berbagi semua suka, duka, dan cerita. Kamu juga butuh telinga untuk mendengar, bahu untuk bersandar, dan tangan untuk menggenggam untuk menguatkan.

Setajam-tajamnya pengamatanku, pengamatanmu jauh lebih tajam. Kamu memakai perspective taking dengan caranya sendiri. Kamu tidak pernah bilang “aku ini pakai perspective taking loh!”. Kamu gak tahu istilah itu dan kamu memang tidak memerlukan suatu istilah apa pun untuk mendefinisikan perilakumu. Kamu memang sederhana, tapi tidak sepele. Hidupmu mengamini kunfayakun yang difirmankan Tuhan kami, itu keren. 

Sayangku, teruslah tumbuh dan jangan mengeluh, jika peluhmu jatuh, pulanglah sejenak dan ceritakan apa yang terjadi padaku sungguh-sungguh, dengan tanganku, biar kuhapus penat yang membuatmu lusuh. 

Komentar

Postingan Populer